Titimangsa pembagian raport untuk SD, SMP, SMA, SMK dan yang sederajat, rata-rata akan dibagikan minggu depan. Hal yang biasa dilakukan sebelum pembagian raport yaitu Rapat Kenaiakan Kelas. Rapat Kenaikan Kelas menentukan peserta mana didik mana yang naik kelas dan mana yang tinggal kelas.
Beberapa hari sebelum rapat kenaikan kelas guru mata pelajaran menyerahkan nilai kepada wali kelas, semua nilai mapel tersebut direkap dan direkapitulisasi untuk menentukan peserta didik mana yang naik kelas dan mana yang tinggal kelas.
Kriteria penentuan kenaikan kelas peserta didik dilihat berdasarkan syarat maksimal jumlah mata pelajaran yang tidak lulus dan persentase kehadiran. Peserta didik akan naik kelas jika mata pelajaran yang belum lulus maksimal 3 mata pelajaran dan persetase kehadiran minimal 80%.
Dalam rapat kenaikan kelas, peserta didik yang mendapatkan nilai kurang lebih dari tiga mata pelajaran akan menjadi bahan pembahasan.
Sebagian guru yang “memperjuangkan” naik kelas umumnya melihat dari sisi psikologi peserta didik. Kalau sampai tidak naik kelas akan menjadi beban psikoligis anak. Bukan tidak mungkin mereka malah akan merasa malu, minder, dan bahkan takut lagi untuk bersekolah. Barangkali kalau masih mau pindah sekolah untuk menghindari rasa malu itu, termasuk masih baik. Karena berarti pendidikannya masih berlangsung. Jika tidak mau sama sekali, bukankah pendidikannya terhenti, yang berarti pula sebuah pendidikan pada generasi bangsa telah gagal?
Bisa saja anak akan merasa “tenang-tenang saja” karena sudah naik kelas. Anak tidak mengerti bahwa bisanya naik kelas itu karena “perjuangan” guru. Ia tidak menyadari kalau sebetulnya tidak/belum naik kelas. Kalau toh upaya “perjuangan” itu ditunjukkan kepadanya, belum tentu mampu menyadarkannya mau berubah. Bahkan, justru bisa berpikir sebaliknya, semakin “tenang-tenang saja” sebab sekalipun begitu bisa naik kelas. Bukankah ini akan menurunkan mutu pendidikan, baik bagi anak maupun sekolah?
Maka, muncul argumen yang berbeda dari sebagian guru yang lain. Tidak perlu naik kelas. Memang fakta nilainya sudah tidak memenuhi kriteria. Tidak perlu dipaksa-paksakan. Apalagi nilai yang telah ada itu tentu telah melalui proses pengolahan secara prosedural, apa adanya sesuai dengan tingkat kompetensi anak. Kelompok guru yang ini berpikir bahwa dengan tidak naiknya anak tersebut dapat menjadi terapi. Tidak hanya bagi dirinya, tetapi bagi anak-anak yang lain juga. Menjadi terapi yang baik bagi mereka jika disertai penjelasan dan bimbingan berkelanjutan. Sebab, sebuah proses tidak harus selalu berhasil. Ada kalanya kegagalan. Bahwa kegagalan sebagai keberhasilan yang tertunda itu perlu dipahamkan kepada mereka. Dengan demikian, kualitas pendidikan mereka meningkat, yang berdampak pada kualitas output sekolah.
Original post: sungkowoastro.blogspot.com
0 comments :
Post a Comment